JawaPos.com – Penyakit wajah perot atau yang biasa disebut hemifacial spasm (HFS) sering kali mendapatkan diagnosis yang salah dari para dokter. Misalnya, yang dialami pasien Herlina dari Manokwari, Papua Barat. Dia mulai menderita penyakit tersebut lima tahun yang lalu.
Saat itu kondisi wajah bagian kirinya, mulai bibir, pipi, hingga otot sekitar mata, bergerak-gerak tertarik ke belakang atau kedutan. Kondisi tersebut berulang-ulang terjadi. Hal itu tentu saja membuatnya panik. Dia pun mendatangi dokter mata “Lalu, saya dirujuk ke dokter saraf di Makassar dua tahun kemudian. Tapi, di sana juga belum bisa mendiagnosis penyakit saya apa. Ada dokter yang bilang kalau saya ini stroke,” papar perempuan 30 tahun tersebut.
Merasa belum puas, dia kembali memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan di Makassar. “Barulah saya didiagnosis kena HFS. Sejak itu, saya mulai mencari tahu di internet informasi soal penyakit tersebut,” katanya.
Dari sana, dokter menyarankan Herlina untuk berobat ke Surabaya. Hingga akhirnya, dia mendapatkan panggilan operasi di National Hospital yang akan dilaksanakan hari ini. Dia juga bertemu dengan Ketua Indonesia Brain & Spine Community Lilih Dwi Priyanto.
Penyakit tersebut tentu membuatnya terganggu. Dia selalu menghindari orang lain tiap kali wajahnya terasa tertarik. Selain itu, dia kerap kali merasa orang lain selalu merasani penyakitnya tersebut. “Tiap kali bertemu sekelompok orang, mereka seperti bisik-bisik dan melihat ke arah saya,” tuturnya, mulai terisak.
Yang paling membuatnya menarik diri dari orang-orang di sekitarnya adalah ketika ada agenda rapat pertemuan orang tua murid di sekolah kedua anaknya. “Saya tak pernah datang ke acara itu,” tutur Herlina.
Untuk berobat ke Surabaya, dia rela menaiki kapal selama lima hari dan tiba di Surabaya pada Minggu lalu (8/9). Dia datang bersama Muhammad, suaminya, dan Iqbal, putra sulungnya. Berbagai pemeriksaan dia lakukan di National Hospital.
Salah seorang dokter yang tergabung dalam Kortex Comprehensive Brain and Spine (KBSC) National Hospital, dr Agus Chairul Anab SpBS, menyatakan, kondisi HSF yang dialami Herlina disebabkan terjadinya perlengketan antara saraf nomor tujuh yang berfungsi mengatur gerakan wajah dan pembuluh darah pada otak. Akibatnya, gerakan pada wajah tidak terkendali. Wajah Herlina menjadi merot. Untuk memulihkan gerakan wajah normal kembali, tim dokter akan melakukan operasi di batang otaknya hari ini. Operasi tersebut tidak perlu lagi dilakukan dengan membuka batok kepala. “Cukup membuat lubang kecil diameter 1 sentimeter di belakang telinga pasien,” jelas Agus.
Melalui lubang kecil itu, tim dokter akan memisahkan saraf nomor tujuh dengan memasang serabut teflon agar tidak lengket dengan pembuluh darah. “Semoga operasi berjalan lancar. Tindakan tersebut tentu juga akan menepis anggapan masyarakat bahwa melakukan operasi saraf itu sangat berbahaya,” tandas Agus.